Minggu, 20 Desember 2009

"Pesan" dari Bunda

Minggu pagi tadi setelah bersepeda dengan Kiki, kami singgah di rumah darmawangsa. Tidak banyak yang kami lakukan, karena memang niatnya cuma singgah sebentar. Saat akan pulang (sekitar jam 7 pagi) ibu (eyangnya Kiki) berpesan yang intinya adalah "40% dr rewin, 50% dr tenis". Hal itu dsampaikan ibu dengan minta "disaksikan" oleh Kiki. Apa isi pesan selengkapnya, silakan ikuti catatan berikutnya (kalau ada!)

Minggu, 13 Desember 2009

Mengenal Kolesterol

Kata Kolesterol sudah sering kita dengar sehari-hari. Kata kolesterol sangat melekat dengan hal-hal seputar makanan yang lezat, berat badan yang berlebihan, usia, dan lain sebagainya. Kolesterol cenderung dikenal sebagai sesuatu yang negatif dan harus kita hindari.

Apa kolesterol sebenarnya?

Rabu, 11 November 2009

Batik Tulis Madura


Kendati sudah keriput, tangan nenek 72 tahun ini masih cekatan menggoreskan cantingnya pada selembar kain putih. Ya, nenek ini sedang membatik. Tanpa pola ataupun sketsa, tangannya langsung "menari" menorehkan cairan panas berwarna coklat bercampur lilin pada kain di atas telapak tangan kirinya.

Minggu, 27 September 2009

Antara B dan S

Pulang dari pusat perbelanjaan di kawasan Surabaya Selatan, saya menggunakan taxi S. Maklum karena di plasa tersebut tidak ada pangkalan taxi B, "langganan" saya.
Karena sudah malam dan waktu pulang yang bersamaan dengan pengunjung lain, saya tidak bisa memilih. Yang tersedia hanyalah taxi S, itupun cuma 1 unit. Ya terpaksa saya naik juga.

10 Bulan Seperti 6 tahun

Bila dibandingkan antara 4 bulan dengan yang 6 tahun, tentu sangat beda. Tapi kalau dibandingkan dengan 10 bulan, mungkin agak sepadan. Ini masih menyangkut layanan dari taxi B yang saya alami.
Kalau pengemudi yang baru 4 bulan memberikan layanan sesuai standard perusahaan (lihat tulisan sebelumnya "Bedanya 4 bulan dan 6 tahun"), kali ini saya dilayani oleh pengemudi yang sudah malang melintang di dunia taxi sejak tahun 1993. Sebelum bergabung di taxi B, pak sopir ini sudah pernah bekerja di 2 perusahaan taxi, yang satu diantaranya adalah taxi yang pernah jaya pada jamannya. Mengaku baru 10 bulan bergabung dengan taxi yang saya naiki, namun "perilaku" dalam melayani tamu (sebutan untuk penumpang) ternyata nggak jauh beda dengan yang sudah 6 tahun. Bahkan persis pleg, tidak ada bedanya.
Andai saja semua pengemudi memberikan layanan seperti yang baru bekerja 4 bulan, citra perusahaan akan semakin baik. Mungkin layanan yang diberikan pengemudi yang baru bekerja 4 bulan ini bisa disebut hangat-hangat tahi ayam. Atau karena masih baru dan masih dalam masa percobaan, takut dipecat. Surabaya, 24 September 2009

Senin, 21 September 2009

Bedanya 4 bulan dan 6 tahun

Seperti biasanya kalau kami bepergian dengan menggunakan taxi, keluarga kami selalu menggunakan taxi B (sengaja tidak disebut namanya). Selain pelayanannya baik, juga bisa dipertanggungjawabkan.
Siang itu beberapa saat setelah menghubungi operator, datanglah taxi dengan nomor lambung 1128 yang menjemput kami. Pengemudi turun dan secara sopan membukakan pintu. Itu sudah biasa, pikir saya.
Setelah mengerti tujuan yang saya maksud dan mengucapkan salam, pak sopir ini “meminta ijin” saat akan menekan tombol argometer. “Argometernya saya nyalakan ya”. Begitu yang dikatakan pak sopir ini. Demikian juga saat akan mengunci pintu pak sopir ini juga minta ijin. Ini yang beda, yang mungkin kali pertama saya temui dari layanan taxi B.
Dalam perjalanan iseng-iseng saya tanya ke pengemudi, sudah berapa lama bergabung dengan taxi B, yang dijawab baru 4 bulan. Pantas saja layanannya masih prima dan standard, kata saya dalam hati.
Sampai di tempat tujuan saya sodorkan pecahan 20 ribu dan 10 ribu (karena argo menunjukkan angka 27 ribuan), yang memang saya niatkan uang kembaliannya tidak saya minta. Uang diterima dan pengemudi mengatakan terima kasih sambil keluar dan membantu membukakan pintu.
Kali ini saya juga merasakan ada perbedaan, ada yang tidak biasa selama saya menggunakan jasa taxi B. Pengemudi tidak berusaha mencarikan uang kembalian atau basa-basi tanya uang pas (ini yang biasa dilakukan pengemudi taxi). Pikir saya, mungkin karena sudah berpengalaman kerja di taxi lain (seperti yang dikatakan pada saya dalam perjalanan) sehingga tidak memberikan uang kembalian kepada penumpang, sudah dianggap hal yang biasa.
Malam hari saat balik pulang ke rumah saya juga menghubungi operator taxi yang sama. Saya dijemput taxi dengan nomor lambung 1185. Karena saya menunggu di tepi jalan, saat taxi datang menghampiri saya coba konfirmasi apa betul pesanan saya (dengan menyebut nama saya) yang dibenarkan oleh pengemudi. Kemudian saya naik.
Lagi-lagi saya merasakan ada perbedaan layanan dengan saat saya berangkat dari rumah. Pengemudi tidak turun (yang sebetulnya saya juga tidak berharap), apalagi mengucapkan salam dan minta ijin seperti yang dilakukan pengemudi yang sebelumnya.
Waktu saya tanya sudah
berapa lama bergabung dengan taxi ini yang dijawab 6 tahun. Selain itu pak sopir ini juga mengaku sebagai Pembina, yang tugasnya antara lain mengawasi alias “memata-matai” sopir-sopir yang nakal, yang tidak pakai argometer dalam melayani penumpang / tamu (mereka biasa menyebut tamu).
Sampai tiba di tujuan saya sodorkan uang lebih (bukan uang pas),dan pengemudi ini masih berusaha mencarikan uang kembalian sambil tanya apa ada uang pecahan, yang saya jawab, ambil aja kembaliannya.
Di rumah saya ngomong ke anak saya (yang memang sejak awal ikut pergi dengan saya) tentang bedanya orang yang baru bekerja 4 bulan dengan yang 6 tahun. Kalau masih baru (4 bulan) pelayanan standard perusahaan dilaksanakan, tapi kalau sudah 6 tahun dilupakan.
“Ya capek yah kalau 6 tahun ngomong seperti itu terus”, celetuk anak saya.
Dalam hati saya berkata, sayang ya sebagai Pembina, dia tidak memberi contoh bagaimana melayani tamu yang sesuai standard perusahaan. Tapi hanya bertugas sebagai pemburu dan mata-mata untuk sopir yang lain. Atau memang benar juga ya yang dikatakan anak saya. Capek Dech ..!! Surabaya, 20 September 2009

Jumat, 18 September 2009

Mana yang benar

Foto di sebelah ini adalah 2 macam rambu lalu lintas yang ada di kompleks pertokoan BG Junction, Jl. Bubutan Surabaya. Rambu ini bisa kita temui kalau masuk dari pintu Utara BG Junction menuju ke area parkir mobil, sebelum loket pembayaran tiket parkir.
Sepintas tidak ada masalah. Tapi kalau kita perhatikan lebih cermat rambu dilarang masuk tersebut (rambu yang sebelah kiri) salah pada penempatan warnanya. Harusnya yang berwarna merah adalah lingkarannya dengan kotak putih di tengahnya (lihat foto di bawah). Bukan kebalik seperti itu. Foto ini diambil tgl 01/09/2009, namun hingga kemarin (17/09/2009) belum ada perubahan. masih tetap sama.
Saya jadi teringat dengan "rambu" semacam itu yang sering saya temui di jalan perkampungan seperti foto di sebelah kanan ini. Cuma bedanya kalau foto di kiri atas tersebut bukan di perkampungan tapi di sebuah mal yang cukup megah di pusat kota.

Kamis, 17 September 2009

Di Alfa Midi, pembulatan untuk pundi amal

Kalau kita belanja di Carrefour dengan pembayaran tunai, bila total nilai belanjaan kita mengandung angka pecahan maka akan dibulatkan ke bawah dalam kelipatan 100 rupiah.
Lain lagi yang saya alami kemarin (16/9/09) saat belanja di Alfa Midi, Jl. Tidar Surabaya. Dengan total belanjaan yang tertera pada struk sebesar Rp. 56.980, saya harus bayar 57.000. Setelah struk saya cermati ternyata selisih pembulatan (rp 20) masuk pada pundi amal. Ini peristiwa yang berbeda yang pernah saya alami.
Mungkin cara ini nampak “lebih baik” dibanding dengan mengganti pecahan 50 atau 100 rupiah dengan butiran permen. Konsumen diajari untuk lebih banyak beramal, bukan untuk ngemut permen.

Permen, Uang Pecahan Baru

Untuk kesekian kali hal ini terjadi lagi, uang kembalian belanja diganti permen. Peristiwa ini saya alami saat belanja di Indomaret Kalikepiting Surabaya (14/09/09). Untuk uang kembalian Rp 31.350, saya diberi pecahan 20 ribu, 10 ribu dan seribu masing-masing selembar ditambah 2 butir permen “Station Rasa”. Berarti uang (rupiah) yang saya terima saat itu cuma 31 ribu, sedangkan yang 350 rp diganti dengan 2 butir permen.
Sangatlah tidak etis bila dengan sengaja kasir memberikan pengganti uang recehan tersebut tanpa disertai permintaan maaf kepada konsumen karena tidak ada uang pecahan 100 rp dan 50 rp.
Peristiwa itu tidak hanya saya alami di Indomaret saja namun juga di Alfa Mart, Cahaya Dept Store, Ramayana Dept Store. Seolah cara tersebut sudah jamak dilakukan.
Kalau mereka (toko-toko tersebut) tidak punya uang pecahan 100 atau 50 rp, mengapa mereka memasang label harga barang di tokonya dengan mengandung angka pecahan 50 atau 100. Misalnya (di Indomaret Kalikepiting) Happydent Protex harganya 2.350 atau Listerine yang diberi harga 16.950. Kenapa tidak dibulatkan saja 2.500 untuk Happydent dan 17.000 untuk Listerine. Tentu jawabannya adalah untuk menarik konsumen agar mau berbelanja di toko mereka.
Dalam kondisi tersebut kita sebagai konsumen sebenarnya telah “dibohongi” oleh label harga. Memang harga yang tertera di struk belanja kita nampak angka yang lebih murah (sesuai label). Namun sesungguhnya uang yang kita bayarkan lebih dari yang tertera di struk belanja. Kita telah diperlakukan tidak fair, dan kita seringkali tidak menyadarinya. Bandingkan dengan barang yang sama di toko atau warung lainnya. Kalaupun harga yang ditentukan mengandung pecahan 50 atau 100, pemilik warung akan konsekuen dengan memberikan uang kembalian dengan pecahan 50 atau 100, bukan dengan sebutir atau dua butir permen. Dalam hal ini ternyata warung kecil lebih fair dalam berdagang.
Bagaimana kalau suatu saat kita belanja ke Indomaret atau toko-toko tersebut di atas dengan menyiapkan permen sebagai pengganti pecahan 50 dan 100. Pada saat kasir menyebutkan jumlah yang harus kita bayar, bila ada angka pecahan 50 atau 100 kita sodorkan permen yang telah kita bawa. Kira-kira mau nggak ya sang kasir menerima?

Selasa, 14 Juli 2009

Di pulau Bali (2)

Bali, 10 Juli 2009
Iring-iringan prosesiNgaben yang melintas di jalan raya























































Antrian kendaraan yang mengekor cukup panjang akibat jalan di tutup sementara dari dua arah karena ada prosesi Ngaben

Di pulau Bali (1)

Bali, 9 Juli 2009
Suasana menjelang sore di pantai Kuta















































Hiruk pikuk kendaraan di sekitar pantai Kuta











Daftar nama-nama korban bom Bali 2002






















Awas, celananya melorot.












Menanti terbitnya matahari di pantai Sanur (10 Juli 2009)

Pandangan Mata Dalam Perjalanan

8 Juli 2009
Toilet di kereta Eksekutif Mutiara Timur. Meski kondisinya seperti itu, airnya tidak mampet












Suasana dalam kereta eksekutif yang cukup nyaman dan longgar, "kontras" dengan kondisi toiletnya

























Rangkaian kereta Mutiara Timur sedang menikung













"Secuil" awan hitam di atas selat Bali












10 Juli 2009

Ini adalah "Rujak Soto" makanan khas Banyuwangi












Para penikmat "Rujak Soto"











Menuju Pulau Dewata 2

Bali, 9 Juli 2009
Pagi hari di penginapan Pondok Wisata kota Negara, Bali Sebelum melanjutkan perjalanan, berdiskusi dulu dengan Putu, teman dari Bali yang menjemput dan sekaligus sebagai pemandu selama di pulau Bali.













Berhenti sejenak di tepi laut dalam perjalanan menuju Denpasar

Kamis, 09 Juli 2009

Menuju Pulau Dewata #1


Kemarin pagi (8 Juli 2009), di saat banyak orang mempersiapkan diri untuk berangkat menuju ke bilik TPS, saya justru bersiap diri untuk menuju stasiun kereta api Surabaya Kota. Tujuannya  tentu akan naik kereta api, bukan mau mencontreng. Waktu yang mepet dengan jadwal keberangkatan kereta api Mutiara Timur yang akan saya tumpangi terpaksa membuat saya jadi golput.

Kalau waktu Pileg (pemilihan caleg) TPS dibuka jam 7 pagi, untuk pilpres kali ini baru dimulai jam 8 pagi. Dengan hati berat akhirnya saya harus segera menuju stasiun. Padahal rencana semula, kalau acara pencontrengan itu dimulai jam 7 pagi, saya beserta rombongan kecil akan daftar dan minta waktu untuk urutan yang pertama. Namun ternyata aturannya berbeda. Dengan terpaksa saya (beserta rombongan kecil) tidak menggunakan hak pilih.

Jam 8 sudah menuju stasiun
Kereta berangkat pukul 09.15 dari stasiun Gubeng Surabaya. Namun rombongan kecil saya memilih berangkat dari stasiun Surabaya Kota. Pertimbangannya jelas, agar tidak terburu-buru saaat naik dan lebih leluasa dalam mencari nomor tempat duduk dan menempatkan tas dan barang bawaan.karena rangkaian kereta Mutiara Timur awal berangkatnya dari stasiun Surabaya Kota. Padahal kalau dari rumah jaraknya justru lebih jauh daripada ke stasiun Gubeng. Karena itu jam 8 pagi kami sudah berangkat menuju stasiun Surabaya Kota.

Ada 2 tiket dengan nomor tempat duduk yang sama
Rombongan kecil saya memperoleh tempat duduk nomor 2A, 2B, 3A, 3B, 3C pada kereta Eksekutif no 1. Ternyata setelah sampai di stasiun Gubeng penumpangnya cukup banyak. Dalam gerbong yang saya tumpangi sudah 95% terisi. Bahkan ada penumpang yang tempat nomor tempat duduknya sama dengan penumpang lainnya. Padahal mereka sama-sama beli tiket di stasiun Gubeng untuk jadwal keberangkatan yang sama. Kok bisa ya hal itu terjadi, padahal penjualan tiket dilakukan secara komputerisasi yang terintegrasi dengan stasiun lainnya di Surabaya.

Penumpangnya Penuh, Yang Dewasa Tidak Nyontreng
Dari pengamatan saya sepintas, hampir semua rangkaian kereta Mutiara Timur ini baik yang kelas Bisnis maupun Eksekutif semuanya terisi penuh. Sebagian besar adalah penumpang dewasa, baik yang akan turun di Jember maupun Banyuwangi. Berarti para penumpang dewasa ini juga tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pilpres kali ini. Surabaya, 8 juli 2009

Kamis, 11 Juni 2009

Pilih mana, Paguyuban atau Arisan

Saya jadi ingat, arisan yang digagas warga di kampung saya beberapa tahun lalu tujuan sebenarnya adalah untuk paguyuban. Dari pada cuma kumpul-kumpul aja, akhirnya "ditumpangi" dengan acara arisan. Pesertanya memang belum semua warga, ada sekitar 34 kepala keluarga. Masih ada sebagian kecil yang belum ikut acara tersebut. Namun dalam perkembangannya menyedihkan. Yang hadir tiap bulan selalu menyusut. Bagi yang tidak hadir mungkin berpendapat toh saya sudah “narik” (dapat arisan), kan tinggal bayar tiap bulannya aja. Sehingga cukup nitip ke tetangga yang hadir.
Kalau dikembalikan ke tujuan paguyuban, sebetulnya semua warga harus hadir karena itu merupakan forum untuk “rembug kampung”. untuk membahas dan mencari solusi bila ada masalah di wilayah RT, atau hal lain yang perlu dibicarakan bersama.

Karena Nitip

Minggu sore lalu saya ditelepon tetangga tentang acara arisan yang akan diselenggarakan malam harinya. Dalam perbincangan itu tetangga ini juga menanyakan perkiraan jumlah orang yang datang karena ini terkait dengan jumlah konsumsi yang akan disiapkan. Saya sarankan untuk menyiapkan konsumsi untuk 40 orang. Kalau konsumsinya kurang tentu ini akan membuat malu si tuan rumah yang ditempati arisan. Akhirnya si tetangga ini sepakat.
Malam harinya ternyata yang hadir di luar perkiraan. Bukan melebihi dari jumlah konsumsi yang disediakan tapi malah jauh meleset di bawah. Secara iseng saya hitung bapak ibu yang hadir pada acara arisan itu, ternyata kurang 30 orang. Setelah saya cermati ternyata sebagian besar yang tidak hadir adalah mereka yang telah mendapat arisan. Mereka yang tidak hadir ini semuanya nitip ke tetangga dekat rumahnya.

Jumat, 01 Mei 2009

Duka Dari Berbek

Bila waktu telah memanggil, teman sejati adalah amal.

Sabtu, 11 April 2009

SDN Airlangga V Surabaya Berwisata Ke Yogya (4)

Menjelang matahari terbenam, saatnya pulang

SDN Airlangga V Surabaya Berwisata Ke Yogya (3)

Suasana di tempat wisata Kyai Langgeng




































Suasana di tempat wisata di Candi Borobudur









Suasana di tempat wisata Monjali