Pulang dari pusat perbelanjaan di kawasan Surabaya Selatan, saya menggunakan taxi S. Maklum karena di plasa tersebut tidak ada pangkalan taxi B, "langganan" saya.
Karena sudah malam dan waktu pulang yang bersamaan dengan pengunjung lain, saya tidak bisa memilih. Yang tersedia hanyalah taxi S, itupun cuma 1 unit. Ya terpaksa saya naik juga.
Minggu, 27 September 2009
10 Bulan Seperti 6 tahun
Bila dibandingkan antara 4 bulan dengan yang 6 tahun, tentu sangat beda. Tapi kalau dibandingkan dengan 10 bulan, mungkin agak sepadan. Ini masih menyangkut layanan dari taxi B yang saya alami.
Kalau pengemudi yang baru 4 bulan memberikan layanan sesuai standard perusahaan (lihat tulisan sebelumnya "Bedanya 4 bulan dan 6 tahun"), kali ini saya dilayani oleh pengemudi yang sudah malang melintang di dunia taxi sejak tahun 1993. Sebelum bergabung di taxi B, pak sopir ini sudah pernah bekerja di 2 perusahaan taxi, yang satu diantaranya adalah taxi yang pernah jaya pada jamannya. Mengaku baru 10 bulan bergabung dengan taxi yang saya naiki, namun "perilaku" dalam melayani tamu (sebutan untuk penumpang) ternyata nggak jauh beda dengan yang sudah 6 tahun. Bahkan persis pleg, tidak ada bedanya.
Andai saja semua pengemudi memberikan layanan seperti yang baru bekerja 4 bulan, citra perusahaan akan semakin baik. Mungkin layanan yang diberikan pengemudi yang baru bekerja 4 bulan ini bisa disebut hangat-hangat tahi ayam. Atau karena masih baru dan masih dalam masa percobaan, takut dipecat. Surabaya, 24 September 2009
Kalau pengemudi yang baru 4 bulan memberikan layanan sesuai standard perusahaan (lihat tulisan sebelumnya "Bedanya 4 bulan dan 6 tahun"), kali ini saya dilayani oleh pengemudi yang sudah malang melintang di dunia taxi sejak tahun 1993. Sebelum bergabung di taxi B, pak sopir ini sudah pernah bekerja di 2 perusahaan taxi, yang satu diantaranya adalah taxi yang pernah jaya pada jamannya. Mengaku baru 10 bulan bergabung dengan taxi yang saya naiki, namun "perilaku" dalam melayani tamu (sebutan untuk penumpang) ternyata nggak jauh beda dengan yang sudah 6 tahun. Bahkan persis pleg, tidak ada bedanya.
Andai saja semua pengemudi memberikan layanan seperti yang baru bekerja 4 bulan, citra perusahaan akan semakin baik. Mungkin layanan yang diberikan pengemudi yang baru bekerja 4 bulan ini bisa disebut hangat-hangat tahi ayam. Atau karena masih baru dan masih dalam masa percobaan, takut dipecat. Surabaya, 24 September 2009
Senin, 21 September 2009
Bedanya 4 bulan dan 6 tahun
Siang itu beberapa saat setelah menghubungi operator, datanglah taxi dengan nomor lambung 1128 yang menjemput kami. Pengemudi turun dan secara sopan membukakan pintu. Itu sudah biasa, pikir saya.
Dalam perjalanan iseng-iseng saya tanya ke pengemudi, sudah berapa lama bergabung dengan taxi B, yang dijawab baru 4 bulan. Pantas saja layanannya masih prima dan standard, kata saya dalam hati.
Sampai di tempat tujuan saya sodorkan pecahan 20 ribu dan 10 ribu (karena argo menunjukkan angka 27 ribuan), yang memang saya niatkan uang kembaliannya tidak saya minta. Uang diterima dan pengemudi mengatakan terima kasih sambil keluar dan membantu membukakan pintu.
Kali ini saya juga merasakan ada perbedaan, ada yang tidak biasa selama saya menggunakan jasa taxi B. Pengemudi tidak berusaha mencarikan uang kembalian atau basa-basi tanya uang pas (ini yang biasa dilakukan pengemudi taxi). Pikir saya, mungkin karena sudah berpengalaman kerja di taxi lain (seperti yang dikatakan pada saya dalam perjalanan) sehingga tidak memberikan uang kembalian kepada penumpang, sudah dianggap hal yang biasa.
Malam hari saat balik pulang ke rumah saya juga menghubungi operator taxi yang sama. Saya dijemput taxi dengan nomor lambung 1185. Karena saya menunggu di tepi jalan, saat taxi datang menghampiri saya coba konfirmasi apa betul pesanan saya (dengan menyebut nama saya) yang dibenarkan oleh pengemudi. Kemudian saya naik.
Lagi-lagi saya merasakan ada perbedaan layanan dengan saat saya berangkat dari rumah. Pengemudi tidak turun (yang sebetulnya saya juga tidak berharap), apalagi mengucapkan salam dan minta ijin seperti yang dilakukan pengemudi yang sebelumnya.
Waktu saya tanya sudah berapa lama bergabung dengan taxi ini yang dijawab 6 tahun. Selain itu pak sopir ini juga mengaku sebagai Pembina, yang tugasnya antara lain mengawasi alias “memata-matai” sopir-sopir yang nakal, yang tidak pakai argometer dalam melayani penumpang / tamu (mereka biasa menyebut tamu).
Sampai tiba di tujuan saya sodorkan uang lebih (bukan uang pas),dan pengemudi ini masih berusaha mencarikan uang kembalian sambil tanya apa ada uang pecahan, yang saya jawab, ambil aja kembaliannya.
Di rumah saya ngomong ke anak saya (yang memang sejak awal ikut pergi dengan saya) tentang bedanya orang yang baru bekerja 4 bulan dengan yang 6 tahun. Kalau masih baru (4 bulan) pelayanan standard perusahaan dilaksanakan, tapi kalau sudah 6 tahun dilupakan.
“Ya capek yah kalau 6 tahun ngomong seperti itu terus”, celetuk anak saya.
Dalam hati saya berkata, sayang ya sebagai Pembina, dia tidak memberi contoh bagaimana melayani tamu yang sesuai standard perusahaan. Tapi hanya bertugas sebagai pemburu dan mata-mata untuk sopir yang lain. Atau memang benar juga ya yang dikatakan anak saya. Capek Dech ..!!
Jumat, 18 September 2009
Mana yang benar
Foto di sebelah ini adalah 2 macam rambu lalu lintas yang ada di kompleks pertokoan BG Junction, Jl. Bubutan Surabaya. Rambu ini bisa kita temui kalau masuk dari pintu Utara BG Junction menuju ke area parkir mobil, sebelum loket pembayaran tiket parkir.
Sepintas tidak ada masalah. Tapi kalau kita perhatikan lebih cermat rambu dilarang masuk tersebut (rambu yang sebelah kiri) salah pada penempatan warnanya. Harusnya yang berwarna merah adalah lingkarannya dengan kotak putih di tengahnya (lihat foto di bawah). Bukan kebalik seperti itu. Foto ini diambil tgl 01/09/2009, namun hingga kemarin (17/09/2009) belum ada perubahan. masih tetap sama.
Saya jadi teringat dengan "rambu" semacam itu yang sering saya temui di jalan perkampungan seperti foto di sebelah kanan ini. Cuma bedanya kalau foto di kiri atas tersebut bukan di perkampungan tapi di sebuah mal yang cukup megah di pusat kota.
Sepintas tidak ada masalah. Tapi kalau kita perhatikan lebih cermat rambu dilarang masuk tersebut (rambu yang sebelah kiri) salah pada penempatan warnanya. Harusnya yang berwarna merah adalah lingkarannya dengan kotak putih di tengahnya (lihat foto di bawah). Bukan kebalik seperti itu. Foto ini diambil tgl 01/09/2009, namun hingga kemarin (17/09/2009) belum ada perubahan. masih tetap sama.
Saya jadi teringat dengan "rambu" semacam itu yang sering saya temui di jalan perkampungan seperti foto di sebelah kanan ini. Cuma bedanya kalau foto di kiri atas tersebut bukan di perkampungan tapi di sebuah mal yang cukup megah di pusat kota.
Kamis, 17 September 2009
Di Alfa Midi, pembulatan untuk pundi amal
Kalau kita belanja di Carrefour dengan pembayaran tunai, bila total nilai belanjaan kita mengandung angka pecahan maka akan dibulatkan ke bawah dalam kelipatan 100 rupiah.
Lain lagi yang saya alami kemarin (16/9/09) saat belanja di Alfa Midi, Jl. Tidar Surabaya. Dengan total belanjaan yang tertera pada struk sebesar Rp. 56.980, saya harus bayar 57.000. Setelah struk saya cermati ternyata selisih pembulatan (rp 20) masuk pada pundi amal. Ini peristiwa yang berbeda yang pernah saya alami.
Mungkin cara ini nampak “lebih baik” dibanding dengan mengganti pecahan 50 atau 100 rupiah dengan butiran permen. Konsumen diajari untuk lebih banyak beramal, bukan untuk ngemut permen.
Lain lagi yang saya alami kemarin (16/9/09) saat belanja di Alfa Midi, Jl. Tidar Surabaya. Dengan total belanjaan yang tertera pada struk sebesar Rp. 56.980, saya harus bayar 57.000. Setelah struk saya cermati ternyata selisih pembulatan (rp 20) masuk pada pundi amal. Ini peristiwa yang berbeda yang pernah saya alami.
Mungkin cara ini nampak “lebih baik” dibanding dengan mengganti pecahan 50 atau 100 rupiah dengan butiran permen. Konsumen diajari untuk lebih banyak beramal, bukan untuk ngemut permen.
Permen, Uang Pecahan Baru
Untuk kesekian kali hal ini terjadi lagi, uang kembalian belanja diganti permen. Peristiwa ini saya alami saat belanja di Indomaret Kalikepiting Surabaya (14/09/09). Untuk uang kembalian Rp 31.350, saya diberi pecahan 20 ribu, 10 ribu dan seribu masing-masing selembar ditambah 2 butir permen “Station Rasa”. Berarti uang (rupiah) yang saya terima saat itu cuma 31 ribu, sedangkan yang 350 rp diganti dengan 2 butir permen.
Sangatlah tidak etis bila dengan sengaja kasir memberikan pengganti uang recehan tersebut tanpa disertai permintaan maaf kepada konsumen karena tidak ada uang pecahan 100 rp dan 50 rp.
Sangatlah tidak etis bila dengan sengaja kasir memberikan pengganti uang recehan tersebut tanpa disertai permintaan maaf kepada konsumen karena tidak ada uang pecahan 100 rp dan 50 rp.
Peristiwa itu tidak hanya saya alami di Indomaret saja namun juga di Alfa Mart, Cahaya Dept Store, Ramayana Dept Store. Seolah cara tersebut sudah jamak dilakukan.
Kalau mereka (toko-toko tersebut) tidak punya uang pecahan 100 atau 50 rp, mengapa mereka memasang label harga barang di tokonya dengan mengandung angka pecahan 50 atau 100. Misalnya (di Indomaret Kalikepiting) Happydent Protex harganya 2.350 atau Listerine yang diberi harga 16.950. Kenapa tidak dibulatkan saja 2.500 untuk Happydent dan 17.000 untuk Listerine. Tentu jawabannya adalah untuk menarik konsumen agar mau berbelanja di toko mereka.
Dalam kondisi tersebut kita sebagai konsumen sebenarnya telah “dibohongi” oleh label harga. Memang harga yang tertera di struk belanja kita nampak angka yang lebih murah (sesuai label). Namun sesungguhnya uang yang kita bayarkan lebih dari yang tertera di struk belanja. Kita telah diperlakukan tidak fair, dan kita seringkali tidak menyadarinya. Bandingkan dengan barang yang sama di toko atau warung lainnya. Kalaupun harga yang ditentukan mengandung pecahan 50 atau 100, pemilik warung akan konsekuen dengan memberikan uang kembalian dengan pecahan 50 atau 100, bukan dengan sebutir atau dua butir permen. Dalam hal ini ternyata warung kecil lebih fair dalam berdagang.
Bagaimana kalau suatu saat kita belanja ke Indomaret atau toko-toko tersebut di atas dengan menyiapkan permen sebagai pengganti pecahan 50 dan 100. Pada saat kasir menyebutkan jumlah yang harus kita bayar, bila ada angka pecahan 50 atau 100 kita sodorkan permen yang telah kita bawa. Kira-kira mau nggak ya sang kasir menerima?
Kalau mereka (toko-toko tersebut) tidak punya uang pecahan 100 atau 50 rp, mengapa mereka memasang label harga barang di tokonya dengan mengandung angka pecahan 50 atau 100. Misalnya (di Indomaret Kalikepiting) Happydent Protex harganya 2.350 atau Listerine yang diberi harga 16.950. Kenapa tidak dibulatkan saja 2.500 untuk Happydent dan 17.000 untuk Listerine. Tentu jawabannya adalah untuk menarik konsumen agar mau berbelanja di toko mereka.
Dalam kondisi tersebut kita sebagai konsumen sebenarnya telah “dibohongi” oleh label harga. Memang harga yang tertera di struk belanja kita nampak angka yang lebih murah (sesuai label). Namun sesungguhnya uang yang kita bayarkan lebih dari yang tertera di struk belanja. Kita telah diperlakukan tidak fair, dan kita seringkali tidak menyadarinya. Bandingkan dengan barang yang sama di toko atau warung lainnya. Kalaupun harga yang ditentukan mengandung pecahan 50 atau 100, pemilik warung akan konsekuen dengan memberikan uang kembalian dengan pecahan 50 atau 100, bukan dengan sebutir atau dua butir permen. Dalam hal ini ternyata warung kecil lebih fair dalam berdagang.
Bagaimana kalau suatu saat kita belanja ke Indomaret atau toko-toko tersebut di atas dengan menyiapkan permen sebagai pengganti pecahan 50 dan 100. Pada saat kasir menyebutkan jumlah yang harus kita bayar, bila ada angka pecahan 50 atau 100 kita sodorkan permen yang telah kita bawa. Kira-kira mau nggak ya sang kasir menerima?
Langganan:
Postingan (Atom)