Kamis, 25 September 2008

Mudik Lebaran dan Hutang

L

autan manusia dengan membawa beberapa tas dan berbagai barang bawaan tanpa ada yang mengomando, berbondong-bondong menyerbu terminal bus dan stasiun kereta api. Ini bukan aksi unjuk rasa, tetapi sebuah kejadian rutin yang dapat kita jumpai setiap tahun menjelang hari lebaran. Gelombang mudik lebaran mengalir demikian hebatnya seperti air bah yang tak tertahankan lagi. Orang rela berebut dan berdesakan dalam kendaraan umum. Harga tiket yang melambung berlipat-lipat tak jadi soal, asalkan mereka bisa sampai di kampung pada saat Lebaran.

Mengapa mereka ngotot untuk mudik di waktu lebaran?

Di kampung pada masa Lebaran orang dapat menemukan banyak hal yang tidak mereka temukan di kota yang sistem kehidupannya amat kompetitif dengan gaya kehidupan yang sudah mulai mengarah kepada individualisme. Mereka dapat menikmati –meskipun hanya sesaat-- suasana perkampungan yang masih diselimuti gairah persaudaraan yang belum terjamah oleh gaya individualistis.

Budaya kita yang senantiasa menganjurkan sikap hormat dan menjunjung tinggi orang tua juga ikut menciptakan semangat mudik ini. Dengan pulang kampung mereka bisa menemukan kehangatan berjumpa dengan keluarga, terutama bagi yang masih mempunyai orang tua. Sedang bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia mereka akan berziarah ke makam orang tua dan leluhurnya, serta bersilaturahmi dengan sanak keluarganya.

Bagi orang-orang kecil yang sepanjang kehidupannya dihimpit berbagai tekanan, lebaran di kampung memberi makna kembali kehadirannya sebagai manusia. Eksistensinya sebagai manusia seakan mereka temukan kembali walaupun itu hanya beberapa hari. Demi menemukan eksistensi diri yang hilang itulah mereka rela berebut dan berdesakan dalam kendaraan umum. Tak lupa pula baju baru dan oleh-oleh yang cukup banyak juga menjadi “suatu kewajiban” bagi mereka yang mudik lebaran. Nampaknya hal itu juga akan menunjukkan eksistensi diri bagi mereka karena akan menjadi simbol kesuksesan mereka di kota. Dan semua itu harus dibayar dengan harga yang tidak murah.

Ironisnya tidak semua orang bisa mewujudkan hal tersebut dengan mudah terutama bagi yang elit (ekonomi sulit). Di antara mereka tidak sedikit yang tetap memaksakan diri untuk bisa memenuhi “kewajiban” itu. Sehingga demi mendapatkan uang dalam tempo singkat mereka menempuh alternatif dengan cara mencari pinjaman (hutang) atau pergi ke pegadaian (baik yang resmi maupun yang gelap) untuk menggadaikan barang berharga yang masih dimilikinya agar dapat mudik di waktu lebaran. Namun begitu lebaran telah usai, sekian banyak tanggungan hutang akan menghantui kehidupannya.

Mudik waktu lebaran memang telah menjadi tradisi yang tidak begitu saja bisa diubah. Atau barangkali memang tidak perlu diubah dan tidak perlu dihilangkan, karena memang sudah merupakan hak setiap orang untuk pulang kampung. Yang perlu dihilangkan adalah dampak negatif yang timbul dari mudik di waktu lebaran itu sendiri. Setuju?

Artikel Terkait

Tidak ada komentar: